
Badewa dan Pencugan, Spirit Siliwangi Menari di Padepokan Mayang Sunda

Bandung, 27 Juli 2025. Di bawah langit Bandung yang memercikan gerimis hujan, pukul 19.30 tepat, Padepokan Seni Mayang Sunda bergemuruh oleh hentakan kendang, lengking rebab dan dentum gamelan serta denyut semangat para pendekar yang mengemban warisan tanah leluhur. Malam itu, bukan sekadar pagelaran. Ia adalah perjamuan jiwa, sebuah pemanggilan ruh budaya yang hendak dibangkitkan kembali dalam tubuh Maenpo.
Paguron Seni Beladiri Tradisional Maenpo Badewa, menggandeng Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung serta organisasi bela diri BEST dan GATRUSSI, mempersembahkan pertunjukan bertajuk “Seni Gerak Maenpo Dina Wanda Pencugan.” Sebuah pentas seni bela diri yang memadukan kaidah gerak, ekspresi spiritual, dan kehormatan budaya Sunda dalam satu garis lintasan.
Dalam konteks tradisional, Maenpo memang lazim diiringi oleh kendang pencak dan kacapi suling yang menggema liris. Namun malam itu, nuansa berbeda dihadirkan sentuhan musik jaipongan membalut gerak para pesilat dalam dinamika yang segar namun tetap sakral. Karena Maenpo, seperti tanah tempat ia tumbuh, adalah lentur, terbuka, dan berakar kuat.
Ketua pelaksana acara, R. Gangan Garmana, memberikan pernyataan yang merangkum semangat inovatif pertunjukan ini: "Saya mencoba, malam ini, ilaharnya pencugan yang biasa dilakukan oleh masyarakat secara bebas, dibawa ke panggung dengan pendekatan gerak penca yang terstruktur. Praktisi penca kami tampil bukan hanya untuk mempertontonkan teknik, tapi menyampaikan makna melalui kaidah gerak bernuansa penca atau maenpo."
Acara tersebut dihiasi penampilan dari paguron silat ternama di Kota Bandung, seperti Panglipur, Gajah Putih, Sera, dan Gagak Lumayung. Mereka tak sekadar berlaga, mereka menari di antara warisan dan harapan. Irama gerak mereka, kental oleh disiplin dan kesadaran, berbaur dengan suara seniman Bandung Rita Tila dan Neneng Dinar, yang menghadirkan nada penuh nostalgia dan kebanggaan juga gaya khas menghibur dari gerak penca dibalut komedi Ki Daus.
Penonton larut dalam momen sakral saat Agus Sugenar, Ketua Umum Badewa, melakukan aksi pencugan diiringi lagu Kulu-Kulu Bem. Geraknya tajam namun teduh, menyiratkan hormat dan tekad. Disusul Mamat Mansyur, Guru Besar Badewa, yang membawakan pencugan dengan lagu Bulan Sapasih. Dua sosok itu seolah menyulam jalinan antara zaman dahulu dan masa kini, menghadirkan aura yang membuat bulu kuduk berdiri getaran sejarah yang hidup dalam tubuh manusia.
Kemegahan malam kian dalam dengan kehadiran Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Panembahan Haji Derajat Hadiningrat, atau yang lebih dikenal sebagai Mama Derajat. Dalam pidatonya, beliau menyampaikan: "Badewa ini sudah hampir mendekati esensi dari lagu Indonesia Raya. Jiwa dari Badewa harus bangkit, sebagaimana awal berdirinya budaya Sunda. Budaya kita adalah Ngaos, Mamaos, dan baru terakhir Maenpo. Urang Sunda itu enggeus Tauhid ti baheula, walaupun Nabi Muhammad belum lahir, Sunda mah enggeus Tauhid."
Pernyataan itu tak hanya menggugah, tapi juga memaknai bahwa pelestarian budaya bukan hanya soal pertunjukan, tapi perjalanan spiritual yang telah berlangsung jauh sebelum bangsa kita mengenal formalitas agama dan politik.
Sebagai simbol penuh makna, Mama Derajat memberikan senjata karimbit yang disebut sebagai senjata macan kepada Agus Sugenar. Senjata ini mengandung makna filosofis dari Siliwangi. Di era modern, kerambit dikenal sebagai senjata elite yang digunakan oleh pasukan militer dunia. Penyerahan ini mengandung harapan agar Badewa menjadi duta budaya yang mampu membawa spirit Siliwangi ke panggung dunia. (Boy)
