top of page

SEJARAH
BADEWA

Sang Maestro Seni Peupeuh

Yaya Ustara Sugenar, Alm

“Negara Beling”, begitu istilah yang tepat untuk Cicadas, sebuah kawasan di salah satu sudut kota Bandung dengan tingkat kepadatan yang cukup tinggi. Dinamakan Negara Beling dikarenakan kawasan ini adalah kawasan yang rawan dengan tingkat kriminalitas yang paling tinggi di kota Bandung pada pada masa lalu.

 

Pada era tahun 1970-an akhir seorang Maestro Beladiri beraliran Maenpo Peupeuh bernama Bapak Yaya Ustara Sugenar (alm) mendirikan sebuah paguron bernama “Sakarima” di kawasan Cicadas, hal tersebut beliau lakukan sebagai bentuk keprihatinan pada kondisi sosial masyarakat dan di Cicadas kala itu yang syarat dengan kriminalisme, kekerasan dan premanisme. Dengan kharismanya beliau banyak merangkul anak-anak jalanan, preman, perampok, pencopet dan sebagainya untuk dilatih dan dididik beladiri maenpo, walaupun tak jarang murid-muridnya dari kalangan pebisnis, kaum agamis, karyawan, jurnalis, TNI dan kalangan lainnya.

 

Mungkin untuk orang awam banyak yang bertanya apa motivasi sang maestro dengan tindakannya dalam merekrut orang dari kalangan kriminal untuk menjadi muridnya? Mungkin mereka malah khawatir, banyak kalangan kriminal tanpa kemampuan beladiri dan hanya bermodal nekad dan keberanian saja sudah sedemikian meresahkan dengan tindakan kriminalnya, bagaimana jika mereka menguasai beladiri maenpo yang terkenal aplikatif dan efisien dalam pertarungan, akankah tindakan dan prilaku krimanalnya makin menjadi?

Mungkin  disinilah letak kepiawaian Bapak Yaya Ustara Sugenar, beliau menguasai ilmu kepemimpinan secara alamiah. Dewasa ini di kalangan para pemikir modern sangat popular istilah cara berfikir yang out of the box dan anti mainstream. Namun pada saat itu sang maestro sudah mempraktekannya dalam gerak maenpo dan dalam kehidupan sehari-hari yang keluar dari kebiasaan.

Hasilnya seorang murid maenpo jika sudah mendalami maenpo dengan baik maka akan timbul “rasa” atau kepekaan dalam dirinya, dia akan peka terhadap dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya, sehingga rasa yang timbul akan membuatnya menjadi mawas diri dengan memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjalani hidup dengan baik. Emosipun akan semakin matang dan tersalurkan dalam gerak ibing atau tarian penca yang diiringi musik tradisional kacapi suling cianjuran. Kedewasaan dan cara berfikir akan semakin terarah dengan kebijaksanaan dalam setiap tindakan. Sehingga mawas diri sebagai buahnya yang dapat dipetik, bukan sikap arogan dan emosional dengan berujung tindakan kriminal.

 

Setelah mendapat didikan dari sang maestro, murid-murid Sakarima banyak yang menyadari bahwa jalan kekerasan bukanlah jalan yang baik dalam menjalani hidup, banyak murid yang awalnya tidak pernah lepas dari senjata tajam dibalik bajunya berubah drastis menjadi membawa kaset lagu kacapi suling cianjuran dikantong celananya yang merupakan salah satu media dalam berlatih mengolah rasa. Maka sang kriminalpun akan sadar dan berubah dengan sendirinya dan hidup menjadi masyarakat yang baik. Dibalik dasyatnya setiap gerak Maenpo Sakarima yang cenderung sadis dan efektif dalam pertarungan, tersimpan ajaran budi pekerti yang luhur yang syarat akan filosofi hidup warisan lelehur Sunda, sehingga akan terhilat benang merah antara ajaran Sakarima yang berdasarkan olah rasa dan ajaran Agama.

 

Konon sampai akhir hayatnya Bapak Yaya Ustara Sugenar telah berhasil mengurangi dan meredam tingkat kriminalitas  di Cicadas, sehingga saat ini Cicadas sebagai negara beling sudah tidak seseram dulu. Jika dulu mendatangi Cicadas pada malam hari, masuk gang pasti di todong, dirampok atau dianiaya, sekarang kondisi seperti itu sudah sangat jarang, dewasa kita bisa bebas keluar masuk gang-gang kecil di kawasan Cicadas tanpa rasa khawatir

Bapak Yaya Ustara Sugenar meninggal pada tahun 1996 karena penyakit kanker hati yang dideritanya. Walaupun beliau telah lama meninggal namun kenangan akan hidup beliau sukar untuk dilupakan terutama bagi murid-muridnya dan generasi penerus setelahnya, terutama kenangan akan berbagai perbuatan baik beliau semasa hidup dan akan semakin terkenang saat gerak Maenpo ajarannya dilatih.

 

Paguron Sakarima merupakan paguron beladiri dengan pola pengelolaan yang tradisional, pada waktu itu kalangan yang belajarpun tidak lepas dari para keluarga, kerabat dan lingkungan pertemanan terdekat saja dengan pola pengajaran yang tertutup menjadikannya Sakarima sebuah paguron yang eksklusif.

 

Dewasa ini sepeninggal beliau kepemimpinan Paguron Sakarima dilanjutkan oleh para putra dari Bapak Yaya Sugenar. Kemudian pada tanggal 25 desember 2008 di kota Bandung Bapak Nana Narundana atau biasa dipanggil Kang Ayi anak ke -5 sang maestro yang bertindak sebagai Guru Besar Sakarima menginstruksikan kepada murid utamanya Kang Boy Hardy Harjadinata untuk mendirikan Paguron dengan nama “Maenpo Badewa” yang merupakan paguron dengan pola pengajaran yang inklusif  dan dikhususkan untuk real fighting. Dalam perkembangan selanjutnya Paguron Badewa berhasil mengembangkan sayap organisasinya dengan mendirikan beberapa anak organisasi lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yayasan, komunitas kepemudaan, jasa multimedia dan lain-lain.

  • Facebook Round
  • Instagram - Black Circle
  • YouTube Round
bottom of page