
Sensitifitas "Rasa"

Sang Maestro, Yaya Ustara Sugena
pendiri Sakarima Cicadasan
Sering sang guru yaitu Kang Ayi (Nana Narundana) putra dari Sang Maestro Peupeuh, Bapak Yaya Sugenar (Alm) memberikan wejangan tentang kesensitifan Rasa yang harus dimiliki oleh setiap muridnya. Dimana Rasa tidak hanya berguna untuk kondisi pertarungan saja, tetapi kepekaan dan kesensitifan Rasa harus selalu hadir setiap saat, termasuk dalam kondisi bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Suatu hari Kang Ayi menceritakan pengalamanya sewaktu belau kecil sering menemani ayahnya tercinta untuk keluar rumah pada saat dini hari, sekedar untuk mencari udara segar. Pada suatu malam Kang Ayi bersama ayah beliau sedang duduk-duduk di depan sebuah biskop didaerah Cicadas Bandung, karena memang Bapak Yaya Sugenar sehari-hari bekerja disana, walaupun diluar jam kerja karena memang bioskop sudah tutup, hal itu beliau lakukan sekedar untuk mengecek keadaan bioskop sebagai rasa tanggung jawab beliau sebagai salah seorang karyawan.
Tiba-tiba sorot pandangan Bapak Yaya menuju kearah Ibu tua yang sedang memunguti sayur-sayuran bekas seperti kol, toge dan wortel yang sudah dibuang pedagangnya yang masih layak untuk dikonsumsi, ibu tua tersebut memunguti sayur-sayuran tersebut dan memotong bagian-bagian yang kira-kira masih dapat dikonsumsi dan memasukannya kedalam kantong plastik yang ibu tua itu siapkan. Lama-lama Bapak Yaya menghampirinya dengan ditemani Kang Ayi yang pada saat itu masih kecil dan bertanya kepada ibu tua tersebut. Ternyata ibu tua itu sedang mengumpulkan bahan - bahan sayuran untuk dibuat gorengan (bala-bala/bakwan) ibu tua itu hidup sendirian, dia berjualan gorengan dengan modal seadanya dan hasil memilah sayuran yang sudah dibuang oleh pedagang yang ternyata masih layak untuk dikonsumsi menurutnya, hanya sekedar untuk bertahan hidup.
Keesokan malamnya Bapak Yaya Sugenar pun menuju tempat yang sama lebih awal dari malam sebelumnya dengan ditemani Kang Ayi, dari rumah beliau memerintahkan Kang Ayi untuk menyiapkan kantong plastik dan pisau, sesampainya ditujuan beliau dibantu Kang Ayi memunguti sayuran yang sudah dibuang dan masih segar dengan memilah-milah sendiri sayuran-sayuran tersebut dengan pisau yang dia bawa. Pada saat itu banyak pedangang sayuran yang ingin memberikan daganganya untuk diberikan kepada Bapak Yaya secara cuma-cuma dan keheranan dengan apa yang dilakukan oleh Bapak Yaya tersebut. Maklum Bapak Yaya pada jamannya adalah seorang tokoh yang cukup disegani sehingga banyak orang melihat tidak sepantasnya Bapak Yaya memunguti sayuran bekas, malah mereka rela sekiranya memberikan sayuran yang masih baru untuk diserahlan pada Bapak Yaya. Tetap Bapak Yaya menolak tawaran tersebut karena khawatir merugikan orang lain. Bapak Yaya hanya berpesan untuk tidak membuang sayuran yang tidak layak jual ketempat yang kotor.
Setelah terkumpul cukup banyak, Bapak Yaya pun beristiahat sambil menunggu ibu tua itu datang. Setelah ibu tua itu datang Bapak Yaya langsung memberikan sayuran tadi dan mengatakan kepada ibu tua itu untuk tidak lagi memunguti sayuran tersebut karena khawatir jika dilihat oleh pembeli akan menimbulkan jijik, maka sebagai gantinya Bapak yaya-lah yang memunguti.
Dari pengalaman tersebut timbul keheranan dalam hati Kang Ayi pada saat itu . Ayahnya seorang yang sangat disegani oleh semua orang dari mulai jawara, preman, ninja Cicadas yang saat itu ditakuti di kawasan Cicadas, sangat menaruh hormat terhadap Pak Yaya, ternyata Pak Yaya mempunyai hati yang sangat lembut. Dari sanalah Kang Ayi pun semakin memahami tentang Rasa, dan Pak Yaya pun menasihati bahwa Rasa dalam aliran pencak ini tidak hanya berfungsi untuk bertarung saja tapi Rasa harus sensitif dengan lingkungan sosial disekitar kita. Seperti falsafah Sahbandar, Kari, Madi yang bisa diartikan sebagai penempatan posisi yang tepat untuk memilah sikap diri kapan waktunya kita harus bersikap keras dan kapan waktunya kita harus bersikap lembut, hal tersebut bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, karena tidak mungkin orang yang keras akan selamanya bersikap keras pasti terkadang timbul perasaan lembutnya, dan begitupun sebaliknya.
Dalam didikan Pak Yaya banyak murid beliau yang tadinya bertabiat kasar dengan kehidupan premanismenya dikawasan Cicadas pada waktu itu berubah menjadi baik karena berhasil menguasai tentang kesensitifan rasa.